21.2.11

Kepemimpinan Ahmadinejad (antara kontroversi dan kemandirian politik)

Seringkali orang berkata bahwasanya keberhasilan suatu organisasi (dalam skala kecil) maupun negara (dalam skala besar) terletak pada seorang pemimpin. Bagaimana ia menjalankan roda organisasi/pemerintahannya menentukan seberapa besar kemajuan yang akan tercapai dalam mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Hingga dapat dikatakan bahwa sangat besar amanah dan tanggung jawab yang diemban seorang pemimpin.
Tak jarang sangat sulit untuk menemukan seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan yang signifikan dalam mencapai kemaslahatan bersama. Ia bisa muncul dengan sendirinya melalui bakat yang dimiliki (faktor genetic), namun kadang ia muncul melalui proses atau fase-fase pembentukan. Dalam ranah pemikiran teori sosial berpendapat bahwa leaders are made, not born (pemimpin adalah dibentuk, bukan dilahirkan). Penganut teori ini berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Dalam kepemimpinan seseorang ia juga memiliki berbagai macam model kepemimpinan. Sebagai contoh adalah model kepemimpinan demokratis dan otoriter. Model demokratis diwujudkan dengan cara memberikan kesempatan yang luas bagi anggota kelompok/organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Sedangkan otoriter diwujudkan dengan indoktrinasi-indoktrinasi kepada bawahannya, biasanya berada pada negara/kerajaan yang absolut.
Dewasa ini terdapat salah seorang pemimpin suatu negara yang menjadi sorotan dunia karena sifatnya yang revolusioner. Namanya adalah Mahmoud Ahmadinejad, seorang Presiden Republik Iran. Kepopulerannya yang menjadi sorotan adalah terkait kebijakannya yang gigih dalam memperjuangkan aspirasi rakyatnya serta keberaniannya menantang negara-negara kapitalisme barat. Terutama Salah satu kebijakannya ialah dia berkeras Iran berhak mengembangkan teknologi nuklir layaknya Eropa menernakkan reaktor. “Jika nuklir ini dinilai jelek dan kami tidak boleh menguasai dan memilikinya, mengapa kalian sebagai adikuasa memilikinya?” katanya lugas. Dia juga menyebut Amerika sebagai “preman” yang tak lama lagi bakal tumbang, layaknya air mancur. Dia juga meminta orang sedunia bersatu-padu menggulingkan rezim zionis di Tel aviv, Israel.
Inilah kenapa dewasa ini ia telah menjadi ikon perlawanan untuk menghantam sistem kapitalisme barat. Sosok Ahmadinejad yang penuh dengan kontroversi, pujian maupun hujatan di belah dunia yang lain menjadikan ketertarikan tersendiri dalam membicarakannya. Dia seorang yang revolusioner, seperti Soekarno di Indonesia, Che Guevarra di Kuba ataupun Malcolm X di Amerika Serikat. Terutama dengan kegigihannya dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Iran.
Kepemimpinan Ahmadinejad
Meminjam kostanta Drukcer, pemimpin adalah individu yang make things happen.[1] Ia adalah “yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri”.[2] Sejak hari pertama menjabat Walikota Teheran, Ahmadinejad banyak mengambil kebijakan yang menekankan pada religiusitas (Islam). Dia, misalnya mengeluarkan kebijakan pemisahan penggunaan lift untuk pria dan wanita di kantor Walikota. Dia juga mengusulkan para pahlawan yang gugur di perang Irak-Iran agar dikuburkan di bundaran terkenal Teheran. Itu juga disertai dengan tindakan-tindakan populis seperti menggandakan jumlah pinjaman lunak pasangan muda yang hendak menikah dari enam juta rial menjadi dua belas juta rial. Dia juga menggelar program pembagian sup gratis sekali dalam setiap pekan bagi penduduk miskin.
Di luar semua kontroversi tersebut, ahmadinejad memperlihatkan dirinya sebagai seorang pekerja keras. Dia memilih memperpanjang masa kerjanya dari pagi hingga menjelang Maghrib dan melanjutkan kerja dirumahnya hingga pukul dua belas malam. Dia sengaja memperpanjang jam kerjanya agar memiliki waktu luang hingga empat jam lebih untuk menerima siapa pun warga kota yang ingin berkeluh kesah dengannya walaupun toh permasalahan tersebut bukan suatu hal yang besar.
Namun, salah satu keberhasilan ahmadinejad sebagai walikota Teheran yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat setempat adalah yang menyangkut spesialisasi dan keahliannya: manajemen transportasi dan lalu lintas perkotaan. Secara dramatis dia menekan jumlah kemacetan dan kepadatan arus lalu lintas di kota Teheran dengan mencopot lampu lalu lintas di perempatan-perempatan besar dan mengubahnya menjadi jalur putar balik yang sangat efektif.
Pola pemerintahan Ahmadinejad yang merakyat ini sempat membawanya ke medan perseteruan dengan Presiden Iran kala itu, Mohammad Khatami. Perseteruan ini terkait dengan telatnya Khatami menghadiri sebuah acara di Teheran. Di depan khalayak ramai, Khatami mengatakan keterlambatannya dilatari kemacetan di salah satu ruas jalan Teheran. Ahmadinejad belakangan mengomentari itu. “Untunglah,” katanya, “jika kita punya Presiden yang baru kali ini merasakan problematika rakyat”. Komentar ini tak pelak merenggangkan hubungan antara keduanya dan berujung pada keputusan Khatami mencegah Ahmadinejad hadir di sidang kabinet.
Mahmoud Ahmadinejad tak pelak merupakan politisi dengan segudang misteri, dan keajaiban. Hampir tidak banyak orang tahu rincian latar belakangnya sebelum menjadi Walikota Teheran. Semua jabatannya sebelum itu, termasuk sebagai Gubernur Ardabil tahun 1993-1997, jauh dari jangkauan sorotan kamera media ataupun guratan pena para wartawan. Setelah menjadi Walikota di Ibuk Kota barulah khalayak mengenalnya dari dekat. Mereka mengenalnya dengan seabrek prestasi yang mampu diraihnya selama menjabat, dan menyukai kebijakan-kebijakan populisnya yang membela kepentingan rakyat kecil di atas kepentingan kelompok elit. Pentas politik Iran mamang bukan lapangan terbuka. Tidak banyak yang bisa melesat dengan cepat tanpa modal yang besar dan kuat. Tetapi, Ahmadinejad membuktikan sebaliknya. Dia menjadi orang nomor satu di Iran dengan modal paling sedikit dan popularitas paling rendah. Media massa Iran yang umumnya masih terjebak dalam polarisasi kubu reformis versus kubu konservatif, telah memasukkan ahmadinejad dalam cantolan pemberitaan mereka. Media massa cetak dan elektronik pada umumnya mengangkat nama-nama seperti Hasyemi Rafsanjani, Mehdi Karrubi, Hasan Rowhani, Mir Husein Musavi, Dr. Mostafa Moin, dan sebagainya. Yang jelas, Ahmadinejad bukanlah orang yang diunggulkan dalam pentas pemilu Iran. Apalagi, dalam sejumlah pernyataannya dihadapan publik, Ahmadinejad masih menyatakan keraguannya maju dalam pencalonan.
Dalam masa-masa pencalonannya ia mengusung jargon, “ Kami ingin melayani, bukan berkuasa”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwasanya tidak seharusnya seorang pemimpin memperkaya dirinya sendiri semasa menjabat, namun di satu sisi rakyatnya sedang mengalami keterpurukan. Kepemimpinan dengan demikian, bukanlah sebuah “kekuasaan”, melainkan sebuah tugas, tanggung jawab dan pengorbanan.[3]
Dia adalah seorang revolusioner sejati sebagaiman halnya Imam Khomeini, tentunya dengan kedahsyatan aura yang sangat berbeda. Ahmadinejad terlihat jauh lebih “awam” dan “normal” dibandingkan dengan mentor spiritualnya yang sangat “khas” dan “mystique” itu. Ahmadinejad menjadi tokoh revolusioner yang sangat mudah dijangkau, dipahami, dan diteladani.[4]
Akibatnya, sebagaimana mentornya, dia sama sekali tidak tampak terpengaruh oleh kekuasaan yang diraihnya. Bahkan, kekuasaan itu seolah-olah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Dan, Khomeini merupakan par excellence bagi seorang revolusioner dalam hal ini. Seorang revolusioner dalam pengertian ini seperti memiliki “kepribadian ganda”: di satu sisi, ia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain dia bertarung sama kerasnya untuk menolak segenap pengaruh kekuasaan terhadap aspek batinnya.
Tidak bisa tidak, dengan karakter yang sedemikian kompleks itu, seorang revolusioner seperti Ahmadinejad telah ditakdirkan untuk menimbulkan banyak kejutan dan drama. Ia merasakan bahwa dia harus maju untuk menggelindingkan apa yang disebutnya sebagai Revolusi 1384 H.S (2005) atau Revolusi ketiga dengan semboyan “Itu mungkin dan bisa kita lakukan!” (Misyavad va Mitavonim).
Tuntutan revolusi Ahmadinejad lebih menekankan pada perubahan struktur elit dan pola menjalankan roda kekuasaan. Dia menuntut elit berkuasa yang ikut menggerakkan revolusi 1979, yang dikomandani Imam Khomeini, untuk kembali menjadi revolusioner, kembali menjadi bagian dari rakyat, kembali merasakan derita dan kemiskinan rakyat. Senyampang dengan hal tersebut ia menyatakan dalam kampanyenya, “bagaimana seseorang disebut baik apabila sekian banyak orang miskin tidak terlihat olehnya”. Dia meyakini keniscayaan memutar arah, kembali mengurusi rakyat yang menjadi sumbu Revolusi 1979. “untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju, kita membutuhkan Revolusi Ketiga”, katanya di hadapan ribuan masyarakat Qom.
Ahmadinejad adalah anak Revolusi 1979 yang diharapkan oleh Imam Khomeini untuk terus menjaga amanat revolusinya. Ironisnya, dia harus berhadapan dengan elit berkuasa yang menggunakan revolusi sebagai tameng dan kedok untuk terus berkuasa dan melalaikan kemelaratan, kemiskinan, korupsi, dan mised administrasi yang terjadi di dalam jajaran pemerintahan Iran. Ahmadinejad telah dilahirkan oleh sebuah revolusi untuk melakukan revolusi lain. Dan revolusi ini tak pelak bakal menampar wajah sekian banyak individu dalam status-quo, menggoyang posisi dan segala rupa privilege yang mereka miliki.
Pada statemen publik pertamanya di acara Radio Republik Islam Iran sejak terpilih sebagai Presiden, mahmoud ahmadnejad menyatakan ingin menciptakan Iran sebagai model pemerintahan yang “modern, maju, dan Islami”.[5] Model pemerintahan seperti ini, menurutnya, tidak bisa tidak harus berpijak pada manajemen kerja yang kuat, profesional, bebas korupsi, dan fanatisme kelompok.
Baginya, peerintahan Islam ideal itu bukan sekedar serangkaian konsep maupun jargon, tetapi sebuah kerja keras tanpa kenal lelah yang tak bisa ditawar, bahkan dengan imbalan sesuatu sesakral demokrasi. “Kita melakukan revolusi bukan dalam rangka memiliki demokrasi”, katanya suatu ketika, mengacu pada sebagaian kelompok yang bersembunyi di balik demokrasi untuk menampung para koruptor dan menjaga konglomerat.[6]
Mantan Walikota Teheran yang kini berusia 50 tahun ini sering menyatakan bahwa konsep-konsep seperti keadilan, pemerataan, kebebasan, dan demokrasi itu nyatanya masih menjadi slogan kosong. Semua itu seringkali menjadi tameng kalangan politisi korup untuk mencari simpati rakyat, belum menjadi rangkaian program aksi dalam sebuah manajemen kerja yang kongkret. Oleh sebab itu, bagi seorang revolusioner seperti Ahmadinejad, semua konsep itu harus diperagakan secara nyata, baik dalam tingkat individu, maupun kebijakan pemerintahan. Seperti apa yang telah diutarakan oleh Ki Hajar dewantara Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (guru harus mampu berdiri di muka memberi teladan kepada murid-murid, ditengah untuk menyemangati, dan berdiri di belakang untuk memberikan peluang berkarya). Dan itulah sebabnya dia selalu mempertahankan sikap populisnya dalam dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam pandangan Ahmadinejad, untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju dan sejahtera, pejabat negara haruslah memiliki standar hidup yang sama dengan kebanyakan orang dalam masyarakatnya. Pemimpin itu harus mencerminkan kehidupan nyata masyarakat di sekitarnya, dan tidak menjadi orang yang hidup di menara gading. Karena itu, kritiknya terhadap kalangan reformis yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat rasanya tepat sasaran. Itulah persisnya mengapa dia sanggup mengubah suara rakyat Iran yang delapan tahun silam tercurah penuh (mendekati 70% suara) untuk Mohammad Khatami, Sang Reformis, menjadi perolehannya.
Dalam pemerintahannya ia menekankan pada empat prioritas utamanya, yaitu memenuhi rasa keadilan, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat kecil, melayani semua lapisan masyarakat, dan meraih kemajuan material dan moral bagi negara dan bangsa. Berpijak pada budaya Islam yang murni dan memperhatikan semua kebutuhan rakyat bawah, pemerintahan baru akan menempatkan pelaksana keadilan di semua idang , kesetaraan dalam memperoleh kesempatan, pemberantasan kemiskinan, dan pelenyapan diskriminasi administratif dan korupsi sebagai agenda utamanya. “Sebagai pelayan masyarakat, saya wajib menjaga independensi dan kepentingan nasional Republik Islam Iran dan budaya dan aspirasi Islam serta juga membela hak-hak kewarganegaraan semua orang Iran di dalam dan di luar negeri”, ungkapnya.
Dalam salah satu pernyataan awalnya, Ahmadinejad memaparkan, “Pemerintahan ini adalah milik semua orang. Ia harus menjawab masalah semua bagian negeri. Semua bagian itu harus maju ke depan secara bersama-sama. Setiap orang Iran berhak mendapat hak setara, terutama dalam mengembangkan bakat individual”.
Seorang revolusioner sejati bukan orang yang mudah berubah-ubah karena dia bukan orang yang sedang marah dan mencari sasaran-sasaran mudah. Pandangan-pandangannya begitu terikat erat pada suatu logika revolusi yang diyakininya. Pendekatannya begitu rigorous, ketat, fokus, dan dingin bila terkait dengan prinsip-prinsip dasarnya. Namun, bila persoalan ini tidak menyangkut masalah yang mendasar, maka dia akan terlihat cukup realistis, praktis, pragmatis, dan lunak.[7]
Semua kebjakannya setelah menjabat sebagai Presiden nampak taat-asas dengan jiwa revolusionernya. Dia membagikan jutaan lembar saham gratis BUMN yang sudah menguntungkan kepada semua rakat Iran. Pengauditan sejumlah lembaga tinggi negara termasuk kantor pemimpin tertinggi Iran (Daftar Rahbar) yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan palagi diaudit serta kebijakan pengayaan uraniumnya yang menjadi perbincangan hampir di seluruh dunia.
Namun demikian, terlepas dari semua pandangan revolusionernya, Ahmadinejad juga sangat moderat dan berwawasan luas untuk ukuran orang yang disebut sebagai ultrafundamentalis oleh media massa barat. Lazimnya, gambaran kita tentang ultrafundamentalis adalah kelompok yang suka mengurusi nitty-gritty simbolik yang tidak berkaitan dengan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Tetapi, bagi seorang revolusioner seperti Ahmadinejad yang telah mengecap pendidikan tinggi di bidang sains dan teknologi, tentu masalahnya bukan ini.

[1] Drukcer, Peter, 1986, The Frontiers of Management
[2] Moeljono, Djokosantoso, 2003, Beyond Leadership, Jakarta: Elex Media Komputindo
[3] Moeljono, Djokosantoso, 2003, Beyond Leadership, Jakarta: Elex Media Komputindo
[4] Labib, Muhsin dkk, 2006, AHMADINEJAD : David di Tengah angkara Goliath Dunia, Jakarta: PT Mizan Publika
[5] CNN, Sabtu, Juni 25, 2005
[6] United International Press, May 24, 2005
[7] Labib, Muhsin dkk, 2006, AHMADINEJAD : David di Tengah Angkara Goliath Dunia, Jakarta: PT Mizan Publika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar